Sabtu, 28 Desember 2013

pengembangan sapi perah

Tahun 2007, harga susu dunia mencatat puncak tertinggi dalam sejarah ($58/100 kg). Pada bulan Oktober 2008, walaupun harga sudah turun 40%, namun susu menjadi komoditas pertanian paling volatile (Hemme, 2008). Mengikuti pasar global, IPS Indonesia berupaya menurunkan harga susu dari peternak yang sudah sangat kesulitan untuk menutupi biaya produksinya.
Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi puncaknya, produksi susu nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan dalam negeri. Populasi dan produktivitas ternak yang rendah diduga menjadi penyebab hal tersebut. Selama 4 tahun terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu utama hanya tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 – 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah rataan produksi FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41 kg/ekor/hari.
Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat terselesaikan secara nasional. Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan, namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan tersebut karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian permasalahan tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).
2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk Indonesia (Atmadilaga, 1989) menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi sangat tinggi. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut merupakan favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum tersedia kelembagaan yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan berkesinambungan.
3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor) (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan income per household dari sapi perah belum dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama yang layak bagi peternak.
4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak seperti pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak mendatangkan cash income (Suryahadi et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa breeding stock (replacement stock) kurang berjalan dengan baik pada tingkat peternak. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan peternak.
5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran. Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat, penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas roduksi), penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia (McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia. Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal, sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi 3 industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.
Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit
Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan
Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :
1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.
2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan produksi susu yang berkualitas tinggi dalam waktu lama, ketersediaan HMT menjadi faktor pembatas utama pengembangan sapi perah di Indonesia. Kapasitas tampung suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat perhatian yang lebih seksama. 
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah. Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan, peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS (dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadangkadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini. Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput, hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53592