Minggu, 21 September 2014
PERSEDIAN SAPI CUKUP UNTUK KURBAN
Persediaan Hewan Kurban di Jateng Berlimpah
Persediaan Hewan Kurban di Jateng Berlimpah
Petugas Dinas Pertanian bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Malang memberikan pengetahuan tentang persiapan saat akan melakukan penyembelihan hewan kurban di depan kantor Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Malang, Jawa Timur, Rabu 17 September 2014. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Berita Terkait
Takmir Masjid Dilatih Menyembelih Hewan Kurban
Ribuan Hewan Kurban Subang Divaksin
Tip Memilih Hewan Kurban yang Sehat
Jelang Idul Adha, Stok Sapi Aman
Program Tebar Hewan Kurban di 33 Provinsi
Foto Terkait
Puluhan Takmir Masjid Ikuti Pelatihan Penyembelihan Sapi Kurban
Puluhan Takmir Masjid Ikuti Pelatihan Penyembelihan Sapi Kurban
Video Terkait
Kualitas Sapi Super di Mal Hewan Kurban
Kualitas Sapi Super di Mal Hewan Kurban
Topik
#Hewan kurban
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Semarang - Dinas Peternakan Jawa Tengah menyatakan saat ini persediaan hewan ternak melimpah, bahkan berlebih. Kondisi itu juga terjadi pada kebutuhan sapi yang saat ini sudah surplus dan mampu menyuplai kebutuahn dua provinsi lain, yakni DKI Jakarta dan Jawa Barat.
"Sapi yang dibutuhkan saat lebaran kurban 12.399 ekor, tapi persediaan yang ada mencapai 15.627 ekor," kata Kepala Dinas Peternakan Jawa Tengah Witono, Jumat, 19 September 2014.(Baca:Ribuan Hewan Kurban Subang Divaksin)
Kondisi yang melimpah juga terjadi pada kambing yang tersedia hingga 165.376 ekor dari kebutuhan 150.222 ekor. Sedangkan domba yang ada saat ini 77.824 ekor dari kebutuhan pada lebaran kurban 30.219 ekor.(Baca: Takmir Masjid Dilatih Menyembelih Hewan Kurban)
Menurut Witono, secara umum populasi sapi di Jawa Tengah mencapai 1,5 juta ekor atau surplus sehingga bisa dikirim ke daerah lain. Tingginya populasi sapi itu membuat dinas peternakan menargetkan produksi semua daging hewan pada 2015 mencapai 282.661.352 kilogram. "Kami juga targetkan produksi susu 101.456.006 liter," kata Witono. (Baca:Tip Memilih Hewan Kurban yang Sehat)
Peningkatan jumlah populasi sapi itu terkait dengan program pemerintah yang melindungi sapi betina produktif. "Dilarang memotong. Kalau menjual boleh, tapi antar sesama peternak, bukan untuk disembelih," kata Witono.
Populasi sapi di Jawa Tengah tetap terjaga karena aturan hewan kurban yang dipotong hanya sapi atau kerbau jantan yang usianya telah tua. Alasan lain adalah program insentif sapi betina produktif. "Pemerinntah memberikan insentif Rp 500 ribu untuk peternak yang punya sapi bunting," katanya.
Harga sapi dewasa saat menjelang lebaran kurban mulai naik hingga Rp 2 juta per ekor. Hal itu disampaikan oleh Basori, pedagang sapi di kecamatan Gunungpati Kota Semarang. "Sapi dewasa Rp 15 juta per ekor, naik dari sebelum jelang lebaran kurban rata-rata Rp 12 hingga Rp 13 juta per ekor," kata Basori.
Meski mengalami kenaikan harga, ia menjelaskan saat ini penjualan sapi untuk kurban masih tergolong sepi. "Saya baru menjual 10 ekor, mungkin mendekati lebaran nanti pembeli akan tinggi," katanya.
Pada hari raya kurban tahun lalu, ia mampu menjual hingga 118 ekor sapi dewasa. Namun, pada lebaran kali ini ia memperkirakan hanya mampu menjual 50 ekor sapi dewasa.
EDI FAISOL
Sabtu, 30 Agustus 2014
PENGEMBANGAN SAPI PERAH
pengembangan sapi perah
Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi
puncaknya, produksi susu nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu
memenuhi 25% kebutuhan dalam negeri. Populasi dan produktivitas ternak
yang rendah diduga menjadi penyebab hal tersebut. Selama 4 tahun
terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu utama hanya
tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas
sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 – 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah
rataan produksi FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41
kg/ekor/hari.
Beberapa kendala dalam pengembangan populasi
dan produktivitas sapi perah di Indonesia sudah lama diketahui. Kendala
tersebut baru sebagian kecil yang dapat terselesaikan secara nasional.
Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan, namun belum sepenuhnya
dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan tersebut karena
kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian permasalahan
tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan
performa, produksi dan reproduksi sapi perah mengalami gangguan baik
secara langsung maupun secara tidak langsung karena menurunnya kualitas
pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).
2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di
Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk Indonesia (Atmadilaga, 1989)
menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi sangat tinggi. Tidak
tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan kondisi
lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim
sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut
merupakan favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang
sambil menatap hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum
tersedia kelembagaan yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan
secara efisien dan berkesinambungan.
3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor)
(Suryahadi et al., 2007) menyebabkan income per household dari sapi
perah belum dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama yang layak
bagi peternak.
4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan
peternak kurang mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf
optimum. Bahkan minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh
peternak seperti pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk
ternak-ternak yang tidak mendatangkan cash income (Suryahadi et al.,
2007). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa breeding stock
(replacement stock) kurang berjalan dengan baik pada tingkat peternak.
Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia belum dapat
dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan peternak.5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran. Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat, penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas roduksi), penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia (McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia. Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal, sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi 3 industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.
Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit
Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan
Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :
1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.
2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan produksi susu yang berkualitas tinggi dalam waktu lama, ketersediaan HMT menjadi faktor pembatas utama pengembangan sapi perah di Indonesia. Kapasitas tampung suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat perhatian yang lebih seksama.
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah. Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan, peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS (dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadangkadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini. Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput, hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53592
Jumat, 30 Mei 2014
HARGA SAPI TURUN
Harga sapi dan kambing di Kulonprogo turun drastis
Jum'at, 21 Februari 2014 − 17:42 WIB
Foto: Kuntadi/Koran Sindo
Sindonews.com
- Dampak erupsi Gunung Kelud mulai dirasakan para peternak dan pedagang
hewan ternak. Pasca erupsi harga sapi turun antara Rp1 juta hingga Rp2
juta. Sedangkan harga kambing turun sekitar Rp200 ribu.
Banyak peternak memilih menjual, karena sulitnya mendapatkan pakan ternak yang bersih dari abu vulkanik.
Salah seorang pedagang sapi, Sadino mengatakan, banyak pedagang yang membawa sapi ke Pasar Legi Pengasih, hari ini. Sejumlah pedagang bahkan tidak bisa menjual dan terpaksa membawa pulang sapinya.
Ini terjadi karena banyak peternak yang memilih menjual sapi karena untuk memberi pakan ternak, mereka harus mencuci pakan sampai benar-benar bersih dari abu. "Dari pada ribet harus mencuci, banyak yang memilih menjualnya," jelas pedagang asal Palihan Temon ini, Jumat (21/2/2014).
Kondisi ini membuat harga ternak jatuh. Seekor sapi dewasa siap potong, yang sebelumnya laku Rp17,5 juta hanya laku Rp16,2 juta. Apalgi untuk sapi anakan, nyaris tidak laku dijual. Jarang ada petani yang mau mmebeli untuk dikembangkan lagi.
Kondisi yang sama juga terjadi pada harga kambing yang juga turun antara Rp150 ribu sampai dengan Rp200 ribu. Kambing dewasa yang sebelumnya laku Rp1 juta, hanya laku Rp800 ribu ataupun Rp900 ribu.
"Banyak petani enggan merumput saat seperti ini. Mereka pilih menjual daripada ribet," tandasnya.
(gpr)
views: 2.220xBanyak peternak memilih menjual, karena sulitnya mendapatkan pakan ternak yang bersih dari abu vulkanik.
Salah seorang pedagang sapi, Sadino mengatakan, banyak pedagang yang membawa sapi ke Pasar Legi Pengasih, hari ini. Sejumlah pedagang bahkan tidak bisa menjual dan terpaksa membawa pulang sapinya.
Ini terjadi karena banyak peternak yang memilih menjual sapi karena untuk memberi pakan ternak, mereka harus mencuci pakan sampai benar-benar bersih dari abu. "Dari pada ribet harus mencuci, banyak yang memilih menjualnya," jelas pedagang asal Palihan Temon ini, Jumat (21/2/2014).
Kondisi ini membuat harga ternak jatuh. Seekor sapi dewasa siap potong, yang sebelumnya laku Rp17,5 juta hanya laku Rp16,2 juta. Apalgi untuk sapi anakan, nyaris tidak laku dijual. Jarang ada petani yang mau mmebeli untuk dikembangkan lagi.
Kondisi yang sama juga terjadi pada harga kambing yang juga turun antara Rp150 ribu sampai dengan Rp200 ribu. Kambing dewasa yang sebelumnya laku Rp1 juta, hanya laku Rp800 ribu ataupun Rp900 ribu.
"Banyak petani enggan merumput saat seperti ini. Mereka pilih menjual daripada ribet," tandasnya.
(gpr)
Minggu, 13 April 2014
MENERIMA KULIT SAPI BASAHAN DAN GARAMAN
Kami siap membeli kulit sapi garaman maupun basan dalam jumlah besar
Sabtu, 22 Maret 2014
HARGA SAPI MENURUN
Harga Sapi Meroket, Pembeli Menurun Drastis
Sabtu, 5 Oktober 2013 12:53 WIB
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga memadati pasar hewan untuk bertransaksi jual beli ternak sapi di Pasar Pon Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2013). Dalam beberapa bulan ini harga ternak sapi naik berlipat dengan kisaran Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Kenaikan harga ternak ini juga mendorong harga daging sapi menjadi mahal. KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Laporan Wartawan Surya, Sudarmawan
TRIBUNNEWS.COM,PONOROGO - Kenaikan harga hewan sapi dan kambing sekitar 2 sampai 3 juta menjelang Idul Kurban, membuat pembeli harus bisa memutar otak.
Kondisi itu, terlihat di pasar Pahing yakni Pasar Hewan Jetis, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo.
Sejumlah pedagang sapi dan kambing mengeluhkan sepinya pembeli mendekati hari raya kurban.
Bahkan suasana transaksi penjualan dan pembelian di pasar hewan terbesar di Eks Karesidenan Madiun ini, tidak seperti saat menjelang hari raya kurban Tahun 2012 lalu.
Pasalnya, hingga kini belum ada lonjakan pembeli hewan kurban baik untuk jenis sapi maupun kambing.
Bahkan sejumlah pedagang hewan mengaku ada penurunan pembeli hewan kurban baik jenis kambing maupun sapi sampai 60 persen dibandingkan tahun lalu.
Sebagian besar pembeli warga asal Ponorogo tidak ada yang berasal dari luar kota Ponorogo.
Padahal, di tahun 2012 lalu masih dipenuhi pedagang dan pembeli dari luar kota Ponorogo.
Salah seorang pedagang hewan kurban, Budi (40) warga asal Bungkal mengatakan, jika permintaan sapi masih stabil belum ada kenaikan sama sekali. Sedangkan permintaan kambing justru mala merosot.
"Perminta hewan kurban tahun ini merosot. Kondisi bisa dilihat dari parkir mobil dan truk pengangkut sapi dan kambing belum sampai ke rumah atau jalan desa sekitar. Tahun lalu hari raya kurban kurang 15 hari sudah meluber. Ini menandakan pembeli menurun drastis," terangnya kepada Surya (Tribunnews.com Network), Sabtu (5/10/2013).
Kalau tahun 2012 harga sapi kata Budi, masih kisaran Rp 7 juta sampai Rp 8 juta juta per ekor, sekarang harganya Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per ekor. Sedangkan kambing jika dulu seharga Rp 1,5 juta sekarang mencapai Rp 1,6 hingga Rp 1,8 juta per ekor.
"Kenaikannya hanya Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per ekor dibanding tahun lalu, tetapi perminta berkurang 60 persen," ungkapnya.
Jumat, 07 Februari 2014
MENAIKNYA HARGA SAPI DI JAWA TIMUR
Kenaikan harga daging sapi masih membayangi
Devi Ali
Selasa, 31 Desember 2013 − 14:52 WIB
ilustrasi/ist
KURANGNYA stok daging sapi di dalam negeri, telah memicu gejolak harga pangan. Hal ini ditandai dengan melonjaknya harga daging sapi sepanjang 2013.
Sejumlah pengamat ekonomi memproyeksikan harga daging sapi 2014 akan bernasib sama dengan tahun ini. Berbagai solusi dan langkah dilakukan. Salah satu yang ditawarkan dalam menangani masalah kenaikan harga daging sapi adalah dengan memperbaiki sistem kuota, tata niaga serta karantina sapi.
Direktur Indef, Enny Sri Hartati mengemukakan, dengan kondisi fundamental tata niaga yang belum ada perubahan, maka tidak akan terjadi perubahan lebih baik terhadap harga daging tahun depan.
"Dengan kondisi seperti itu selama tidak ada perubahan kebijakan dalam tata niaga, diprediksi tidak hanya 2014, bahkan tahun-tahun mendatang akan mengalami nasib sama, yaitu harga daging tinggi melampaui harga ekonomis," ujar Enny, saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Jumat (27/12/2013).
Pada prinsipnya, harga daging tergantung demand dan supply, tetapi faktor yang menentukan adalah tata niaga. Yaitu, bagaimana distribusi dan pasar sangat berpengaruh signifikan pada pembentukan harga.
Harga daging juga dipengaruhi pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia yang tidak merata dan terkontrol. Di mana, pertumbuhan kelas menengah terpusat di pulau Jawa, dan terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti di Jabodetabek, Bandung, dan lainnya.
Artinya, kata dia, konsumsi daging menjadi konsumsi kelas menengah. Di mana permintaan konsumsi kelas menengah meningkat, khususnya di kota-kota besar. Sayang, dari sisi supply di Jabodetabek pasti kecil dan terbatas. Padahal, secara akumulasi supply daging untuk Indonesia tidak defisit.
Jika dilihat potensi peternakan sapi di Indonesia Timur, dan Jawa Timur, ini memiliki potensi yang sangat besar, hanya saja masih menyimpan persoalan, yaitu distribusi. Sistem distribusi antar pulau Indonesia sangat lemah, mahal, belum ada logistik, dan sistem industri yang bisa mengontrol masalah pendistribusian.
Misalnya, sapi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak dipasok ke Pulau Jawa melainkan ke Malaysia, karena jalur distribusi yang lebih mudah. Begitu juga di Jawa Timur yang ternyata over supply untuk daging sapi, namun sangat sulit dibawa ke Jawa Tengah, Jawa Barat maupun lainnya di pulau Jawa.
Semua itu terkait transportasi darat yang harus dipikirkan. Di sisi lain, jika terlalu lama di jalanan sapi akan cepat mati atau mengalami penyusutan bobot. Itu akan menyebabkan kerugian dan sangat tidak efisien.
Sementara, jika Tanjung Priok tidak dibanjiri oleh daging impor maka supply bisa didapat dari lampung yang berpotensi penghasil sapi. Tetapi karena Indonesia dibanjiri daging impor maka harga daging lokal pun menjadi tertekan dan menyebabkan tidak ada insentif bagi peternak untuk meningkatkan produktifitasnya.
Karena jalur perdagangan yang lemah, akhirnya pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan pasokan daging dalam negeri. Sayang, yang menguasai tata niaga impor adalah kartel. Kartel inilah yang akhirnya membentuk harga dan membuat harga daging sapi menjadi mahal dan akan terus naik melampaui nilai ekonomisnya.
Nilai ekonomis yang dimaksud adalah nilai impor ditambah dengan biaya lapangan, biaya bongkar muat dan biaya lainnya, sehingga muncul harga domestik lokal.
Pengaturan RPH
Pemerintah juga diharapkan bisa mengatur Rumah Pemotongan Hewan (RPH), sehinngga memiliki instrument pengendalian harga. RPH memang menjadi permasalahan. Di mana, dulu masing-masing daerah atau wilayah memiliki RPH yang kepemilikannya diatur oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini yang diatur oleh swasta. Inilah yang membuat pemerintah pusat maupun Pemda tidak memiliki kuasa lagi untuk memengaruhi harga karena pengendaliannya bukan di pemerintah.
Terlihat bahwa kenaikan harga daging juga terjadi pada harga daging ayam potong, sejak awal Desember. Di mana harga daging ayam potong terus mengalami kenaikan hingga Rp27 ribu per kilogram (kg), padahal harga semula hanya Rp22 ribu per kg.
Misalnya, di DI Yogyakarta (DIY), berdasarkan hasil pantauan harga yang dilakukan Biro Administrasi Perekonomian dan SDA Setda DIY, Selasa (17/12/2013) menyebutkan, harga daging sapi mengalami kenaikan Rp7 ribu per kg di Pasar Bringharjo DIY dari sebelumnya Rp98 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per kg. Sedangkan di Pasar Kranggan dari Rp96 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per Kg.
Pasokan daging sapi di Salatiga, Jawa Tengah selama beberapa hari terakhir ini berkurang. Akibatnya, sejumlah pedagang terpaksa harus berebut untuk mendapatkan daging dari distributor. Kondisi ini juga berpengaruh pada harga jual. Harga daging sapi langsung naik antara Rp2.000 sampai Rp3.000 per kg.
Daging sapi kualitas nomor satu yang semula harganya Rp85.000 per kg, kini naik Rp2.000 menjadi Rp87.000 per kg. Sedangkan daging sapi kualitas nomor dua naik Rp3.000 dari harga Rp77.000 menjadi Rp80.000 per kg pada 5 Desember 2013.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi mengakui, harga daging juga banyak terpengaruh dampak depresiasi rupiah. Terutama pasokan untuk pasar segar, di mana para pedagang dan pembeli sapi menyukai sapi eks bakalan impor.
"Di pasar segar pedagangnya tetap dan pembelinya senang yang eks impor itu termasuk bakalan impor," ujar Bayu di Jakarta, Rabu (18/12/2013).
Dia mengatakan, banyak sapi bakalan eks impor terserap di pasar becek karena mayoritas pembeli di pasar ingin memastikan kehalalan daging tersebut ketimbang berupa daging.
"Dan mereka sudah punya jaringan yang kuat diantara para pedagang dan itu yang buat intervensi impor tidak langsung masuk ke pasar segar," lanjutnya.
Untuk persiapan suplai daging 2014, Bayu mencoba membuat perencanaan yang lebih komprehensif dan melakukan intervensi menjelang hari besar.
Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Waryawan juga pernah mengungkapkan, alasan Indonesia harus mengimpor daging sapi. Dia mencatat kebutuhan sapi potong di dalam negeri saat ini mencapai 3-4 juta ekor per tahun. Sementara stok sapi tahun ini berkurang hanya sebanyak 12 juta ekor.
"Pada tahun sebelumnya stok sapi kita mencapai 15-16 juta. Untuk sapi yang boleh dipotong hanya 2 juta ekor. Problemnya, bagaimana kita mengisi sisanya itu. Mau enggak mau kita harus impor," ujar Gita saat berkunjung ke Gedung Sindo, Kamis (12/12/2013).
Menurutnya, melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, idealnya dengan pertambahan penduduk sebanyak 350 juta dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia memiliki 60 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan lepas dari impor.
Sebagai perbandingan, Gita mencontohkan persediaan sapi di Brasil. Negara tersebut memiliki 100 juta ekor sapi. Ini jauh lebih banyak dengan kondisi di Indonesia.
"Konsumsi daging sapi di Brasil mencapai 33 Kg per tahun. Sementara konsumsi di Indonesia hanya 2,5 Kg dan tahun depan diperkirakan 3 Kg. Namun, mereka berhasil memenuhi kebutuhan karena memiliki stok sapi yang mencukupi," tandasnya.
Sejumlah pengamat ekonomi memproyeksikan harga daging sapi 2014 akan bernasib sama dengan tahun ini. Berbagai solusi dan langkah dilakukan. Salah satu yang ditawarkan dalam menangani masalah kenaikan harga daging sapi adalah dengan memperbaiki sistem kuota, tata niaga serta karantina sapi.
Direktur Indef, Enny Sri Hartati mengemukakan, dengan kondisi fundamental tata niaga yang belum ada perubahan, maka tidak akan terjadi perubahan lebih baik terhadap harga daging tahun depan.
"Dengan kondisi seperti itu selama tidak ada perubahan kebijakan dalam tata niaga, diprediksi tidak hanya 2014, bahkan tahun-tahun mendatang akan mengalami nasib sama, yaitu harga daging tinggi melampaui harga ekonomis," ujar Enny, saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Jumat (27/12/2013).
Pada prinsipnya, harga daging tergantung demand dan supply, tetapi faktor yang menentukan adalah tata niaga. Yaitu, bagaimana distribusi dan pasar sangat berpengaruh signifikan pada pembentukan harga.
Harga daging juga dipengaruhi pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia yang tidak merata dan terkontrol. Di mana, pertumbuhan kelas menengah terpusat di pulau Jawa, dan terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti di Jabodetabek, Bandung, dan lainnya.
Artinya, kata dia, konsumsi daging menjadi konsumsi kelas menengah. Di mana permintaan konsumsi kelas menengah meningkat, khususnya di kota-kota besar. Sayang, dari sisi supply di Jabodetabek pasti kecil dan terbatas. Padahal, secara akumulasi supply daging untuk Indonesia tidak defisit.
Jika dilihat potensi peternakan sapi di Indonesia Timur, dan Jawa Timur, ini memiliki potensi yang sangat besar, hanya saja masih menyimpan persoalan, yaitu distribusi. Sistem distribusi antar pulau Indonesia sangat lemah, mahal, belum ada logistik, dan sistem industri yang bisa mengontrol masalah pendistribusian.
Misalnya, sapi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak dipasok ke Pulau Jawa melainkan ke Malaysia, karena jalur distribusi yang lebih mudah. Begitu juga di Jawa Timur yang ternyata over supply untuk daging sapi, namun sangat sulit dibawa ke Jawa Tengah, Jawa Barat maupun lainnya di pulau Jawa.
Semua itu terkait transportasi darat yang harus dipikirkan. Di sisi lain, jika terlalu lama di jalanan sapi akan cepat mati atau mengalami penyusutan bobot. Itu akan menyebabkan kerugian dan sangat tidak efisien.
Sementara, jika Tanjung Priok tidak dibanjiri oleh daging impor maka supply bisa didapat dari lampung yang berpotensi penghasil sapi. Tetapi karena Indonesia dibanjiri daging impor maka harga daging lokal pun menjadi tertekan dan menyebabkan tidak ada insentif bagi peternak untuk meningkatkan produktifitasnya.
Karena jalur perdagangan yang lemah, akhirnya pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan pasokan daging dalam negeri. Sayang, yang menguasai tata niaga impor adalah kartel. Kartel inilah yang akhirnya membentuk harga dan membuat harga daging sapi menjadi mahal dan akan terus naik melampaui nilai ekonomisnya.
Nilai ekonomis yang dimaksud adalah nilai impor ditambah dengan biaya lapangan, biaya bongkar muat dan biaya lainnya, sehingga muncul harga domestik lokal.
Pengaturan RPH
Pemerintah juga diharapkan bisa mengatur Rumah Pemotongan Hewan (RPH), sehinngga memiliki instrument pengendalian harga. RPH memang menjadi permasalahan. Di mana, dulu masing-masing daerah atau wilayah memiliki RPH yang kepemilikannya diatur oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini yang diatur oleh swasta. Inilah yang membuat pemerintah pusat maupun Pemda tidak memiliki kuasa lagi untuk memengaruhi harga karena pengendaliannya bukan di pemerintah.
Terlihat bahwa kenaikan harga daging juga terjadi pada harga daging ayam potong, sejak awal Desember. Di mana harga daging ayam potong terus mengalami kenaikan hingga Rp27 ribu per kilogram (kg), padahal harga semula hanya Rp22 ribu per kg.
Misalnya, di DI Yogyakarta (DIY), berdasarkan hasil pantauan harga yang dilakukan Biro Administrasi Perekonomian dan SDA Setda DIY, Selasa (17/12/2013) menyebutkan, harga daging sapi mengalami kenaikan Rp7 ribu per kg di Pasar Bringharjo DIY dari sebelumnya Rp98 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per kg. Sedangkan di Pasar Kranggan dari Rp96 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per Kg.
Pasokan daging sapi di Salatiga, Jawa Tengah selama beberapa hari terakhir ini berkurang. Akibatnya, sejumlah pedagang terpaksa harus berebut untuk mendapatkan daging dari distributor. Kondisi ini juga berpengaruh pada harga jual. Harga daging sapi langsung naik antara Rp2.000 sampai Rp3.000 per kg.
Daging sapi kualitas nomor satu yang semula harganya Rp85.000 per kg, kini naik Rp2.000 menjadi Rp87.000 per kg. Sedangkan daging sapi kualitas nomor dua naik Rp3.000 dari harga Rp77.000 menjadi Rp80.000 per kg pada 5 Desember 2013.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi mengakui, harga daging juga banyak terpengaruh dampak depresiasi rupiah. Terutama pasokan untuk pasar segar, di mana para pedagang dan pembeli sapi menyukai sapi eks bakalan impor.
"Di pasar segar pedagangnya tetap dan pembelinya senang yang eks impor itu termasuk bakalan impor," ujar Bayu di Jakarta, Rabu (18/12/2013).
Dia mengatakan, banyak sapi bakalan eks impor terserap di pasar becek karena mayoritas pembeli di pasar ingin memastikan kehalalan daging tersebut ketimbang berupa daging.
"Dan mereka sudah punya jaringan yang kuat diantara para pedagang dan itu yang buat intervensi impor tidak langsung masuk ke pasar segar," lanjutnya.
Untuk persiapan suplai daging 2014, Bayu mencoba membuat perencanaan yang lebih komprehensif dan melakukan intervensi menjelang hari besar.
Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Waryawan juga pernah mengungkapkan, alasan Indonesia harus mengimpor daging sapi. Dia mencatat kebutuhan sapi potong di dalam negeri saat ini mencapai 3-4 juta ekor per tahun. Sementara stok sapi tahun ini berkurang hanya sebanyak 12 juta ekor.
"Pada tahun sebelumnya stok sapi kita mencapai 15-16 juta. Untuk sapi yang boleh dipotong hanya 2 juta ekor. Problemnya, bagaimana kita mengisi sisanya itu. Mau enggak mau kita harus impor," ujar Gita saat berkunjung ke Gedung Sindo, Kamis (12/12/2013).
Menurutnya, melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, idealnya dengan pertambahan penduduk sebanyak 350 juta dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia memiliki 60 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan lepas dari impor.
Sebagai perbandingan, Gita mencontohkan persediaan sapi di Brasil. Negara tersebut memiliki 100 juta ekor sapi. Ini jauh lebih banyak dengan kondisi di Indonesia.
"Konsumsi daging sapi di Brasil mencapai 33 Kg per tahun. Sementara konsumsi di Indonesia hanya 2,5 Kg dan tahun depan diperkirakan 3 Kg. Namun, mereka berhasil memenuhi kebutuhan karena memiliki stok sapi yang mencukupi," tandasnya.
Rabu, 08 Januari 2014
PENGEMBANGAN SAPI PERAH
Tahun 2007, harga susu dunia mencatat puncak tertinggi dalam sejarah ($58/100 kg). Pada bulan Oktober 2008, walaupun harga sudah turun 40%, namun susu menjadi komoditas pertanian paling volatile (Hemme, 2008). Mengikuti pasar global, IPS Indonesia berupaya menurunkan harga susu dari peternak yang sudah sangat kesulitan untuk menutupi biaya produksinya.
5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran. Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat, penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas roduksi), penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia (McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia. Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal, sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi 3 industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.
Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit
Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan
Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :
1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.
2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan produksi susu yang berkualitas tinggi dalam waktu lama, ketersediaan HMT menjadi faktor pembatas utama pengembangan sapi perah di Indonesia. Kapasitas tampung suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat perhatian yang lebih seksama.
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah. Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan, peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS (dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadangkadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini. Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput, hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53592
- See more at: http://sumberlembu.blogspot.com/#sthash.RCrpUlgG.dpuf
Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi puncaknya, produksi susu nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan dalam negeri. Populasi dan produktivitas ternak yang rendah diduga menjadi penyebab hal tersebut. Selama 4 tahun terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu utama hanya tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 – 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah rataan produksi FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41 kg/ekor/hari.
Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat terselesaikan secara nasional. Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan, namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan tersebut karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian permasalahan tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).
2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk Indonesia (Atmadilaga, 1989) menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi sangat tinggi. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut merupakan favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum tersedia kelembagaan yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan berkesinambungan.
3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor) (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan income per household dari sapi perah belum dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama yang layak bagi peternak.
4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak seperti pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak mendatangkan cash income (Suryahadi et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa breeding stock (replacement stock) kurang berjalan dengan baik pada tingkat peternak. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan peternak.5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran. Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat, penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas roduksi), penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia (McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia. Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal, sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi 3 industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak dipertimbangkan.
Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.
Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit
Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan
Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :
1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.
2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan produksi susu yang berkualitas tinggi dalam waktu lama, ketersediaan HMT menjadi faktor pembatas utama pengembangan sapi perah di Indonesia. Kapasitas tampung suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat perhatian yang lebih seksama.
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah. Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan, peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS (dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadangkadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini. Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput, hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53592
- See more at: http://sumberlembu.blogspot.com/#sthash.RCrpUlgG.dpuf
Langganan:
Postingan (Atom)