Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak
Friday, June 01, 2012
Oleh Dedy Winarto,S.Pt,M.SI
Salah satu andalan sumber hijauan pakan ternak di daerah lahan kering
adalah limbah pertanian, baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan
kering seperti halnya jerami.
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan suatu
wilayah. Jawa Tengah memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan
peternakan. Popuasi ternak pernah dikenal sebagai lumbung ternak
khususnya ternak sapi, dengan kemampuan memasok ternak ke daerah lain
dalam rangka pengadaan
ternak nasional. Saat ini permintaan ternak kurang mampu terpenuhi yang
kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kemampuan produksi ternak bibit,
akibat terjadinya perkawinan kedalam yang berlangsung cukup lama,
semakin menurunnya produktivitas ternak yang ditunjukkan dengan
menurunnya berat karkas, dan terbatasnya kuantitas dan kualitas pakan.
Salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan peternakan di
Sulawesi Selatan adalah ketersediaan sumberdaya pakan untuk ternak.
Namun demikian, padang penggembalaan sebagai penyedia pakan hijauan
cenderung berkurang setiap tahun. Di lain pihak, telah terjadi perubahan
fungsi lahan yang sebelumnya sebagai penyedia sumber pakan menjadi
lahan sawah/pertanian untuk memenuhi tuntutan penyediaan pangan akibat
semakin meningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan luas lahan pertanian
memberikan implikasi terhadap peningkatan luas areal panen tanaman
pangan. Meningkatnya intensifikasi tanaman pangan mengakibatkan
peningkatan produksi limbah tanaman pangan.
Potensi Limbah
Jumlah produksi bahan kering limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan
adalah 5.883.996 ton bahan kering, dengan persentase produksi terbesar
adalah jerami padi sebesar 73.29% (4.312.125 ton) diikuti jerami jagung
19.68% (1.157.874 ton), jerami kacang tanah 3.03% (178.206 ton) dan
jerami kacang hijau 1.92 % (113.028 ton). Untuk pucuk ubi kayu, jerami
kedelai dan jerami ubi jalar masing-masing 0.81%, 0,83% dan 0,45% dari
total produksi limbah tanaman pangan di Sulawesi Selatan.
Beberapa kabupaten memiliki produksi limbah tanaman pangan yang lebih
tinggi dibanding daerah lainnya. Lebih dari 50% produksi limbah tanaman
pangan berada di kabupaten Bone 15.20 %, Pinrang 7.69 %, Wajo 7.64 %,
Bulukumba 7.61%, Gowa 7.04 %, Jeneponto 6.56%, dan Sidrap 6.45 %.
Produksi limbah tanaman pangan sangat terkait dengan musim panen dari
masing-masing komoditi tanaman pangan dengan fluktuasi produksi yaitu
jerami padi, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu produksi tertinggi pada
bulan Mei-Agustus, dilain pihak limbah tanaman pangan jerami jagung,
jerami kedelai, jerami kacang hijau dan jerami kacang tanah produksi
tertinggi dapat diperoleh pada bulan Januari-April.
Limbah tanaman pangan mampu menyediakan sumber pakan untuk ternak
ruminansia di Sulawesi Selatan sebesar 2.580.700 ST (satuan ternak).
Dengan demikian potensi produksi limbah tanaman pangan dapat menyediakan
pakan untuk kebutuhan ternak ruminansia berdasarkan perhitungan
kebutuhan bahan kering sebesar 2.580.700 ST. Potensi tersebut cukup
besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia.
Dengan jumlah daya dukung sebesar 2.580.700 ST dihubungkan dengan
populasi ternak ruminansia di Sul Sel sebanyak 576.701 ST maka masih
memungkinkan untuk penambahan populasi ternak ruminansia atau kapasitas
peningkatan populasi ternak ruminansia sebanyak 2.004.000 ST.
Pemanfaatan Limbah oleh Peternak
Beberapa faktor yang menyebabkan tidak digunakan sebagai pakan oleh
peternak adalah a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan
terutama jerami padi karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah
untuk penanaman kembali khususnya pada lahan sawah beririgasi (intensif)
dengan pola tanam lebih dari sekali dalam setahun, b) limbah tanaman
pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut
dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan
pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam
pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman
pangan, dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar
rumah/kolong rumah karena takut akan bahaya kebakaran.
Diolah dari berbagai sumber
Foto diambil dari bengkulu.litbang.deptan.go.id/akses tanggal 1 Juni
2012
lebih lanjut hubungi email kami di dedy_good@yahoo.co.id
READ
MORE......
SAPI POTONG UNTUK PENGGEMUKAN
Monday, April 02, 2012Oleh Dedy Winarto,S.Pt,M.Si
Selama ini masih beredar kepercayaan bahwa bibit unggul akan selalu bersifat unggul walaupun dipelihara ditempat yang sebenarnya tidak cocok, bahkan ada anggapan bahwa bibit unggul tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, sehingga dalam perlakuan pemeliharaan ala kadarnya, kemudian akan berproduksi seperti yang diinginkan.
Harapan seperti itu tentunya hanya merupakan angan-angan dan pasti akan berakhir dengan kekecewaan, bila terjadi hal yang demikian maka yang dikambing hitamkan biasanya adalah breeder/ produsen bahwa bibit yang dijual palsu.
Padahal pengetahuan dasar petani peternak yang tidak memadai untuk memelihara jenis unggul. Oleh karena itu kemajuan domestikasi ternak unggul perlu dimbangi dengan kemajuan pengetahuan sikap dan ketrampilan petani peternak mengenai tata laksana pemeliharaan sapi yang baik.
Untuk itu petani perlu memiliki pengetahuan sikap dan ketrampilan untuk dapat merubah cara pemeliharaan sapi yang kurang menguntungkan kecara semi intensif atau intensif sehingga akan didapat hasil yang lebih besar.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, ada beberapa hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam usaha penggemukan sapi potong antara lain :
1. Pemilihan bakalan, sebaiknya berumur 1-3 tahun dengan kelamin jantan.
2. Jenis bibit sapi yang biasa dipelihara untuk digemukan di Kalimantan Barat antara lain : Sapi Madura, Sapi Bali, Sapi PO, dan sapi persilangan hasil IB atau kawin suntik.
3. Pakan dan formulasinya harus dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertambahan berat badan.
4. Kandang dan peralatannya, sebaiknya menghadap ketimur dan membujur kearah utara selatan, sehingga sinar masuk dengan maksimal
5. Pengendalian dan pencegahan penyakit hewan menular, dengan menjaga kebersihan ternak dan kandang, pemberian obat cacing dengan rutin. Bila terjadi ternak sakit dan informasi tehnis lainnya agar menghubungi Dinas Yang Menangani Fungsi Peternakan Kabupaten, atau petugas lapangan/mantri hewan di kecamatan.
6. Analisa Usaha Tani, (terlampir)
7. Penjualan ternak sapi hasil penggemukan secara berkala dapat dipasarkan ke tukang potong, namun akan lebih menguntungkan apabila dapat diatur pemasarannya pada menjelang Hari Raya Keagamaan, misalnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Dari tujuh point diatas , manajemen pakan harus menjadi prioritas utama, mengingat tujuan pemelihaaran adalah penggemukan, program penggemukan akan berhasil baik apabila pemberian pakan memenuhi keseimbangan protein dan energi serta kebutuhan mineralnya, dengan demikian pertambahan bobot harian meningkat.
Berdasarkan kebutuhan, ternak sapi memerlukan :
1. Hijauan 10% dari berat badan,
a. Hijauan berkualitas rendah : jerami padi, daun jagung, pucuk tebu, daun ubi kayu, ubi jalar, daun kelapa sawit.
b. Hijauan berkualitas sedang : rumput lapangan, rumput gajah, rumput raja, setaria.
c. Leguminosa : daun turi, gamal, lamtoro diberikan 60% dari total kebutuhan hijauan.
2. Pakan penguat/konsentrat kebutuhan 1-2% dari berat badan:
a. sumber protein seperti tepung kedelai, ampas tahu, blondo sawit, bungkil inti sawit, bungkil kelapa.
b. Sumber energi seperti dedak, onggo, molasse/tetes tebu, tepung jagung
3. Sumber Mineral
a. Mineral = 15-30 gram/ekor/hari, didapat dari garam dapur
b. Kalsium Phosphat = 15-30 gram/ekor/hari, didapat dari tepung tulang/kapur.
Permintaan akan daging sapi semakin meningkat, namun sejauh ini, pemenuhan dalam mensuplai semua kebutuhan akan permintaan daging sapi belum mampu dipenuhi. Apalagi kebutuhan konsumen lebih menginginkan daging sapi yang berkualitas. Kebanyakan konsumen membeli daging sapi dalam bentuk segar dan yang bagus. Agar kualitas daging sapi dapat dipenuhi dengan baik, perlu dilakukan grading (pengklasifikasian), sehingga daging dapat dikelompokkan berdasarkan kualitasnya. Grading pada daging sapi dilakukan untuk mengetahui kualitas daging yang dihasilkan , kemudian dibagi dalam tingkatan mutunya.
Pelaksanaan grading dapat dilakukan dengan grading pada sapi yang masih hidup dan grading pada sapi yang sudah dipotong.
Grading / klasifikasi pada sapi yang masih hidup (sapi siap potong),
Pendugaan hasil daging yang diperoleh dari seekor ternak dilakukan melalui grading pada sapi yang masih hidup. Hasil daging yang diperoleh dibedakan dari jenis/bangsa dan tipe sapi. Walaupun memiliki bobot hidup yang sama, tapi akan menghasilkan daging yang jumlah dan kualitas yang berbeda. Salah satu cara untuk menaksir jumlah dan kualitas daging yang akan dihasilkan dari seekor ternak sapi dengan melakukan penilaian terhadap kondisi ternaknya. Variabel yang diukur dalam grading/ klasifikasi ternak sapi siap potong meliputi : 1) skor kerangka yang lebih menekankan pada ukuran tubuh, 2) skor otot , menekankan pada ketebalan perototan dan 3) skor kondisi tubuh menekankan pada tingkat kegemukan.
Skor kerangka (frame score )
Skor/nilai kerangka pada sapi siap potong digunakan untuk menggambarkan capaian bobot hidup pada saat sapi menjadi dewasa, yaitu pada saat tebal lemak punggung pada rusuk ke 12 = 0,5 cm. Penilaian skor dengan Besar, Sedang dan Kecil. Skor kerangka besar bobot dewasa 500 - 600 kg, skor kerangka menengah bobot dewasa 400- 500 kg dan skor kerangka kecil bobot dewasa 300 - 400 kg.
Skor Otot ( muscle Score )
Skor otot menggambarkan ketebalan perototan seekor ternak. Penilaian skor dibagi dalam 4 skor yaitu nilai 1,2, 3 dan 4. Skor 1 diberikan kepada sapi dengan perototan paling tebal. Skor 2 diberikan kepada sapi dengan perototan agak tebal, skor 3 dengan perototan agak tipis dan skor 4 diberikan kepada sapi dengan perototan paling tipis.
Skor kondisi tubuh ( body condition score/ BCS)
Skor kondisi tubuh menggambarkan tingkat perlemakan / kegemukan, dengan kisaran angka antara 1 - 9. Tingkat kegemukan tidak dinilai berdasarkan bobot hidup melainkan berdasarkan bentuk dan konformasi tubuh. Nilai didasarkan pada perlemakan pada brisket, iga, punggung, pinggul, tulang duduk dan pangkal ekor. Nilai 1 - 3 ditunjukkan pada sapi yang kondisinya sangat kurus sampai kurus, sedang nilai optimum adalah 5 - 7, nilai 7, perototan sangat bagus, brisket terlihat penuh otot, pangkal ekor terlihat timbunan lemak dan punggung terlihat lebar karena timbunan lemak. Iga terasa sangat halus. Nilai 8 - 9 terlihat gemuk dan sangat gemuk.
Grading/ klasifikasi pada sapi yang sudah dipotong (karkas)
Bagian tubuh sapi yang sudah dipotong yang bisa dikonsumsi dinamakan karkas.Seekor sapi biasanya menghasilkan karkas 55 - 60 % karkas, tergantung pada bangsa dan kondisi sapi. Grading karkas dilakukan untuk memperkirakan jumlah dan kualitas daging yang akan dihasilkan oleh ternak setelah dipotong. Ada 2 macam klasifikasi daging yaitu berdasarkan kualitas dan kuantitas.
Referensi diambil dari berbagai sumber
READ MORE......
Revolusi Putih
Wednesday, January 04, 2012Oleh Dedy Winarto,S.Pt,M.Si
Nasib peternak sapi perah di ujung tanduk. Sejak lima bulan terakhir industri pengolah susu telah menurunkan harga pembelian susu Rp350 per liter.Alasannya,harga susu di pasar dunia turun.
Industri pengolah susu beralasan, penurunan harga ini akan membuat harga jual susu di tingkat konsumen menurun. Sebagai wasit yang berdiri di tengah, pemerintah berkewajiban menjaga harga keseimbangan. Per 1 Juni 2009 ditetapkan bea masuk impor 5%. Masalahnya, besaran bea masuk itu tidak akan mampu mengompensasi penurunan harga yang dilakukan industri pengolah susu.
Peternak sapi perah terancam bangkrut. Janji harga jual susu di tingkat konsumen turun tidak terbukti. Silang-sengkarut industri persusuan tidak lepas dari desain kebijakan persusuan yang liberal. Asal-muasal liberalisasi dimulai tahun 1998. Ketika Indonesia mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter penyembuh krisis moneter, Indonesia harus menandatangani letter of intent (LoI). Di situ harga bea masuk impor susu yang semula 30% dihapuskan. Kewajiban industri pengolah susu untuk menyerap susu peternak domestik pun ditiadakan. Peternak sapi perah kehilangan pembeli. Peternak kecil, mayoritas pemelihara sapi perah, harus bertarung dengan susu impor yang penuh subsidi.
Sampai sekarang Uni Eropa masih memberikan subsidi sebesar USD2 per hari per ekor sapi kepada peternak sapinya.Padahal, Uni Eropa merupakan eksportir terbesar skimmed-milk powder. Dengan subsidi yang besar itulah eksportir bisa menjual susu dengan harga murah (dumping).
Uni Eropa mengekspor susu dengan harga hanya separo dari harga pokok produksi.Akibatnya, harga jual komoditas di pasar dunia tidak lagi mencerminkan efisiensi dan daya saing. Menjadikan harga komoditas di pasar dunia sebagai referensi dan cermin daya saing serta efisiensi jelas keliru,bahkan menyesatkan.
Indonesia telah meratifikasi aturan-aturan WTO di sektor pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) pada 1994. Berdasarkan notifikasi yang dicatatkan di WTO, Indonesia sebenarnya
memiliki ruang manuver yang luas untuk menyiasati liberalisasi di bidang persusuan. Khusus untuk tarif, Indonesia mencatatkan bound tariff antara 40–210%. Namun sejak 1998 paling besar Indonesia hanya mematok tarif bea masuk impor 5%.
Ironis memang. Padahal, sejak 2005 Indonesia sudah tidak lagi dalam supervisi IMF. Di sisi lain, Indonesia juga begitu agresif dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral, termasuk di sektor persusuan. Pada Agustus 2008, Indonesia meneken perjanjian perdagangan bebas negara-negara ASEAN,Australia, dan Selandia Baru (AANZ FTA).
Lewat perjanjian itu Indonesia tidak dikenai bea masuk barang ke Australia dan Selandia Baru. Sebaliknya, Indonesia harus membuka pintu terhadap barang dari Australia dan Selandia Baru seperti susu. Sebagai implementasi AANZ FTA itu, 13 Februari 2009, Menteri Keuangan mengeluarkan PP No 19/2009 tentang bea masuk impor produk tertentu. Di situ bea masuk skim milk powder, full cream milk, yoghurt, dan buttermilkdipatok 0%. Aneka
perjanjian bilateral semacam ini, yang dalam literatur ekonomi internasional disebut regionalisme,sering menimbulkan masalah. Sebab, perundingan bilateral cuma dikawal Departemen Perdagangan. Departemen teknis tak terlibat.
Masalah muncul setelah beleid diimplementasikan karena perjanjian bilateral sering punya implikasi serius pada kelompok- kelompok marginal: petani, peternak, pekebun, kaum miskin kota, buruh, atau nelayan. Berbeda dengan perundingan WTO yang ada sekretariat tetap dan dikawal tim interdepartemen, perundingan bilateral bersifat ad hoc, bongkar pasang,dan tak ada sekretariat tetap.Akibatnya, aneka perjanjian bilateral kurang dikaji mendalam berikut implikasi-implikasinya. Ini pula yang terjadi dalam perjanjian bilateral persusuan.
Sejak usaha sapi perah dikembangkan pertama kali tahun 1979, sampai sekarang ciri-cirinya tidak banyak berubah: sapi perah diusahakan oleh peternakan rakyat berbasis usaha keluarga dengan skala usaha kecil-kecil (1–4 ekor sapi per peternak).
Tak aneh bila manajemen dan teknologi pemeliharaannya juga sederhana. Ini punya implikasi pada produktivitas: rata-rata 10 liter/laktasi/hari (jauh dari produksi susu di negara lain yang mencapai 30 liter/ laktasi/hari). Produktivitas yang rendah dan tidak kondusifnya iklim usaha di dalam negeri membuat populasi sapi perah tidak memadai.
Saat ini populasi sapi perah di dalam negeri diperkirakan tak lebih 1 juta ekor,65% di antaranya betina. Ujung dari semua itu,produksi susu domestik amat rendah. Produksi susu dalam negeri hanya 1,2 juta liter/tahun dan hanya memberikan kontribusi 20% kebutuhan susu nasional.
Sisanya diimpor.
Ketergantungan pasokan susu domestik atas susu impor itu sudah berlangsung puluhan tahun dan belum terpecahkan sampai sekarang. Di sisi lain,industri pengolah susu menyerap lebih 90% produksi susu peternak. Hanya 5% produk susu segar yang langsung diserap masyarakat. Dampak dari kondisi ini peternak susu amat tergantung pada industri pengolah susu.
Padahal, industri pengolah susu domestik hanya ada enam buah.Ini membuat pasar susu segar bersifat monopsoni. Harga susu segar dari peternak dan harga akhir di konsumen sepenuhnya berada di tangan industri pengolah susu. Jadi, industri pengolah susu memeras dua pihak (double sequeezing): peternak sapi dan konsumen. Ini yang membuat industri pengolah susu untung besar.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan.Karena peternak sapi perah akan tidak bergairah berusaha dan konsumen terus tersandera oleh harga susu yang mahal.Akibatnya, harga susu tak terjangkau konsumen. Saat ini harga jual susu di tingkat peternak Rp3.700 per liter,sedangkan harga di supermarket sampai Rp12.000 per liter.
Inilah yang membuat konsumsi susu di Indonesia masih rendah (7,7 liter/ kapita/ tahun), jauh di bawah tingkat konsumsi Vietnam (8,5), Filipina (11), Thailand (25,1)l, dan India (44,9).Padahal, susu amat penting bagi asupan gizi tubuh.Menggalakkan minum susu, terutama untuk anak-anak, penting guna memperbaiki kualitas SDM.
Ini penting sebagai investasi masa depan. Dibandingkan negara lain, kualitas SDM kita jauh tertinggal. Menurut laporan UNDP (2006), peringkat Human Development Index(HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 177 negara,111 dari 177 negara (2005), 111 dari 177 negara (2004), dan 112 dari 175 negara (2003). Posisi ini nyaris tidak bergerak, jauh tertinggal dari Malaysia (59),Thailand (76), dan Filipina (83).
Ironis, untuk bersaing di tingkat Asia saja kita semakin uzur dan tak berdaya. Perbaikan SDM harus dilakukan dengan investasi di bidang gizi, kesehatan, dan pendidikan. Di bidang gizi, salah satunya bisa ditempuh dengan memberi susu gratis atau bersubsidi pada siswa usia sekolah yang amat membutuhkan asupan gizi.
Harus ada program untuk merevolusi sistem produksi dan distribusi susu agar anak mendapat asupan gizi yang berkualitas untuk mendukung kecerdasan dan pertumbuhan. Lewat program ini susu sekolah akan digalakkan sehingga siswa dapat menikmati minuman bergizi untuk kelengkapan empat sehat lima sempurna.
Selama ini, pemerintah hanya fokus pada perbaikan gizi balita dan ibu hamil. Program gizi untuk murid sekolah terabaikan. Padahal, pertumbuhan fisik berlangsung terus sampai usia anak 18 tahun. Di sisi lain, program revolusi susu akan membuka pasar baru bagi peternak sapi perah.Ini bisa jadi pasar alternatif. Jadi, dengan revolusi susu kualitas SDM bisa didongkrak dan pasar peternak sapi perah terjamin.
Dedy Winarto, Alumnus Fakultas Peternakan Undip.
READ MORE......
Kenangan Prajab 66 @ Kampus Diklat Propinsi Jateng
Monday, December 19, 2011Tanggal 30 November 2011 sampai dengan 16 Desember 2011 penuh dengan memori yang tiada mudah terhapuskan dari pusat memoriam di otak kami. Antar instansi saling bertemu dan belajar bersama membentuk pola senasib dan sepenanggungan terbentuklah angkatan "66" dengan ketua Gigih, jumlah peserta per kelas 46 peserta prajab tergabung dalam kebersamaan suka dan duka.
Ya.......kenangan yang tak terlupakan, nyanyi bareng, makan bareng, kucel pun bareng karena belum mandi hahahahahahha......itulah kami 66.
Muka penuh dengan jadwal, namun hati tetap tegar saling mengisi baik usil, fotogenik dan lain sebagainya mewarnai kelas kami. Serasa kuliah kembali, bahkan serasa lebih dekat karena kebersamaan dalam asrama.....
Written by Dedy Winarto,S.Pt,M.Si
READ MORE......
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar