Sapi SO : Potensi Penggemukan dan Breeding Sapi Sumba Ongole
Sapi Sumba Ongole (SO) Sapi Unggul Untuk Penggemukan
Selama ini sepertinya banyak pengusaha penggemukan sapi yang terlena dengan sapi import terutama Brahman Cross. Memang sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini karena sapi BX mempunyai keunggulan dalam penambahan Gain yang tinggi dimana ADG bisa mencapai 1,5 kg per hari sementara sapi lokal hanya berkutat pada angka ADG 0,7 – 0,8 kg/hari.
Selama ini sepertinya banyak pengusaha penggemukan sapi yang terlena dengan sapi import terutama Brahman Cross. Memang sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini karena sapi BX mempunyai keunggulan dalam penambahan Gain yang tinggi dimana ADG bisa mencapai 1,5 kg per hari sementara sapi lokal hanya berkutat pada angka ADG 0,7 – 0,8 kg/hari.
Sapi Sumba Ongole (SO) |
Tetapi sebenarnya Indonesia memiliki satu jenis sapi “unggul” yang belum begitu tersentuh teknologi penggemukan sapi secara modern yaitu sapi Sumba Ongole (SO). Sumba Ongole (SO) adalah sapi ongole asli Indonesia berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan perawakan seperti sapi ongole (Jawa), warna asli putih, memiliki rangka dan perfoma produksi yang lebih baik dari sapi ongole. Frame yang tinggi panjang, bertanduk, perototan dan pertulangan kuat.
Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1906-1907. Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba saat itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yang mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang musim kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1906-1907. Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba saat itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yang mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang musim kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Di daerah asalnya sapi SO ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
Kelebihan pemeliharaan system ranch di sana adalah mendukung pembentukan rangka yang panjang karena sapi bisa exercise dengan cukup, mendapatkan vitamin D cukup dari sinar matahari, dan mendapatkan sebagian mineral (Ca) dari tanah atau bebatuan di sekitar ranch.
Powered By AlbireoKelemahan dari system ranch adalah tingginya kejadian inbreeding, recording reproduksi dan produksi relatif susah, susahnya kontrol penyakit parasiter (cacing), sapi kecil akan selalu kalah dalam kompetisi perebutan pakan.
Pada musim kemarau, ranch akan sangat kekurangan air, akibat dari asupan air yang rendah akan terjadi kekurangan rumput, rendahnya perfoma reproduksi dan produksi, meningkatnya kematian pedet karena susu induk yang kurang mencukupi. Kurangnya rumput dan air pada musim kemarau menyebabkan menurunnya kondisi fisik sapi sehingga kejadian penyakit meningkat seperti demam tiga hari (Bovine Epiferal Fever), kekurusan (skinny) dan weakness (kelemahan). Saat musim kemarau terjadi peningkatan kejadian masuknya benda asing (kain, plastik, kayu, lidi, paku, kawat) ke dalam tubuh sapi yang dapat mengganggu fungsi alat pencernakan, jantung, paru paru dan system organ lain.
Ciri-ciri dan Penampilan FisikSapi SO
Secara fisik Sapi Sumba Ongole mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Secara fisik Sapi Sumba Ongole mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Warna kulitnya putih, disekitar kepala sedikit lebih gelap cenderung abu-abu.
- Postur tubuhnya agak panjang, leher sedikit pendek dan kaki terlihat panjang.
- Memiliki punuk besar dan bergelambir (lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibagian bawah leher dan perut).
- Punuk tumbuh lurus dan berkembang baik pada ternak jantan
- Telinganya panjang dan menggantung.
- Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang.
- Kulit disekitar lobang mata berwarna hitam selebar ± 1 cm.
- Tanduk sapi betina lebih panjang dari pada sapi jantan.
- Tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg. Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan 450 Kg.
Hasil penelitian Ngadiono (1995) Sapi Sumba Ongole yang dipelihara dengan intensif dapat memiliki rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,85+0,01 kg/ekor/hari. Kemampuan mengkonsumsi bahan kering pakan sebesar 8,49 kg/ekor/hari atau konsumsi bahan keringnya sebesar 2,38% dari bobot badan.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dengan konsumsi bahan kering tersebut, sapi Sumba Ongole dapat mengkonversi pakan sebesar 10,60 kg bahan kering pakan/kg pertambahan bobot badan. Nilai rataan pertambahan bobot badan tersebut masih lebih rendah dari hasil penelitian Nugroho (2008) yang juga menggunakan Sapi Sumba Ongole dengan sistem pemeliharaan secara intensif yaitu, sebesar 1,29 kg/ekor/hari.
Reproduksi Sapi Sumba Ongole
Betina kawin pertama umur 18 bulan, beranak pertama umur 30 bulan, jantan kawin pertama umur 30-36 bulan. Aktivitas reproduksi induk Sapi Sumba Ongole cepat kembali normal setelah beranak, sedangkan jantannya memiliki kualitas semen yang baik.
Betina kawin pertama umur 18 bulan, beranak pertama umur 30 bulan, jantan kawin pertama umur 30-36 bulan. Aktivitas reproduksi induk Sapi Sumba Ongole cepat kembali normal setelah beranak, sedangkan jantannya memiliki kualitas semen yang baik.
Beberapa Keunggulan Sapi Sumba Ongole antara lain
- Sapi Sumba Ongole sangat cocok dikembangkan di daerah yang memiliki keterbatasan hijauan pakan, dikarenakan sapi ini menyukai pakan kering atau jerami serta berbagai jenis pakan awetan
- Mampu bertahan pada suhu tinggi (40º C) dengan kondisi pakan yang berkualitas rendah.
- Bobot badan besar, sehingga jumlah daging yang dihasilkan lebih besar.
Sapi SO untuk penggemukan karena memiliki beberapa keuntungan seperti:
Sapi SO mudah beradaptasi dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni baru dalam pen akan cepat mengenal kawan dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari).
Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade berdasarkan berat badan, pen, dan target pakan. Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada saat starter dan akan terus dikurangi sampai finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap.
Sapi SO yang mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot badan awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan karena transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % – 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa.
Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yang sangat pas untuk produksi bakso.
Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yang sangat pas untuk produksi bakso.
Potensi Pengembang biakan SO (Breeding)
Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, masa produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan.
Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga karena sapi SO memiliki kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan meliputi konsentrat 1- 3 kg ( protein kasar 10-11 %, TDN 65% ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
Penelitian Tentang Sapi Sumba Ongole (SO)
Faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha penggemukan sapi potong adalah tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan pakan. Pakan yang digunakan dalam usaha penggemukan terdiri atas konsentrat dan hijauan yang pemberiannya berbeda-beda tergantung dari kebutuhan sapi dan kemampuan menyediakan bahan pakan tersebut.
Faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha penggemukan sapi potong adalah tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan pakan. Pakan yang digunakan dalam usaha penggemukan terdiri atas konsentrat dan hijauan yang pemberiannya berbeda-beda tergantung dari kebutuhan sapi dan kemampuan menyediakan bahan pakan tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kombinasi pemberian pakan yang paling optimum dengan imbangan hijauan dan konsentrat yang berbeda pada sapi Sumba Ongole dengan penampilan produksi sebagai indikatornya. Penampilan produksi tersebut terdiri atas rataan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian, lingkar dada, tebal lemak pangkal ekor, bobot karkas panas, persentase karkas, dan rataan rasio konversi pakan.
Penelitian yang dilakukan di PT Karya Anugerah Rumpin ini menggunakan ternak sapi potong Sumba Ongole (SO) draft Medium yang berumur antara 2,5–3 tahun dengan kisaran berat hidup 300-409 kg/ekor. Perlakuan yang diamati dalam penelitian ini adalah : Perlakuan P1 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 25% dan konsentrat 75%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 0% dan konsentrat 100%), Perlakuan P2 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 25% dan konsentrat 75%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 10% dan konsentrat 90%), dan Perlakuan P3 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 30% dan konsentrat 70%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 10% dan konsentrat 90%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan pada sapi Sumba Ongole dengan imbangan hijauan dan konsentrat yang berbeda tidak berpengaruh terhadap bobot potong, pertambahan bobot badan harian, lingkar dada dan tebal lemak pangkal ekor; tetapi berpengaruh terhadap bobot karkas panas dan persentase karkas. Sapi-sapi yang diberi ransum dengan rasio hijauan yang paling tinggi (Perlakuan P3) cenderung memiliki nilai konversi pakan yang paling baik, tetapi menghasilkan bobot karkas panas dan persentase karkas yang lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan di PT Karya Anugerah Rumpin ini menggunakan ternak sapi potong Sumba Ongole (SO) draft Medium yang berumur antara 2,5–3 tahun dengan kisaran berat hidup 300-409 kg/ekor. Perlakuan yang diamati dalam penelitian ini adalah : Perlakuan P1 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 25% dan konsentrat 75%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 0% dan konsentrat 100%), Perlakuan P2 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 25% dan konsentrat 75%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 10% dan konsentrat 90%), dan Perlakuan P3 (sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat pada hari penggemukan 1-10 dengan imbangan pemberian hijauan 50% dan konsentrat 50%; hari penggemukan 11-60 dengan imbangan pemberian hijauan 30% dan konsentrat 70%, hari penggemukan 61-90 dengan imbangan pemberian hijauan 10% dan konsentrat 90%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan pada sapi Sumba Ongole dengan imbangan hijauan dan konsentrat yang berbeda tidak berpengaruh terhadap bobot potong, pertambahan bobot badan harian, lingkar dada dan tebal lemak pangkal ekor; tetapi berpengaruh terhadap bobot karkas panas dan persentase karkas. Sapi-sapi yang diberi ransum dengan rasio hijauan yang paling tinggi (Perlakuan P3) cenderung memiliki nilai konversi pakan yang paling baik, tetapi menghasilkan bobot karkas panas dan persentase karkas yang lebih rendah.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertambahan bobot badan harian sapi pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05), hal ini disebabkan karena perbedaan imbangan pemberian hijauan dan konsentrat pada tiap perlakuan secara individu tidak berbeda jauh dan belum cukup memberikan perbedaan pertambahan bobot badan harian.
Pertambahan bobot badan harian sapi pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05), hal ini disebabkan karena perbedaan imbangan pemberian hijauan dan konsentrat pada tiap perlakuan secara individu tidak berbeda jauh dan belum cukup memberikan perbedaan pertambahan bobot badan harian.
Nilai rataan pertambahan bobot badan harian sapi yaitu, perlakuan P1 sebesar 0.97+0.092 kg/ekor/hari, perlakuan P2 sebesar 1.12+0.074 kg/ekor/hari, dan perlakuan P3 sebesar 1.09+0.072 kg/ekor/hari. Nilai ini secara umum seiring dengan besarnya rataan jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi, sehingga diduga tingkat konsumsi pakan merupakan faktor utama yang menentukan pertambahan bobot badan harian dari sapi. Nilai rataan pertambahan bobot badan harian sapi-sapi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian Ngadiono (1995), pada sapi SO yang dipelihara secara intensif dapat memiliki pertambahan bobot badan harian 0,85+0,01 kg/ekor/hari. Ngadiono (1995) menggunakan pakan berupa 85% konsentrat dan 15% hijauan (rumput raja), kandungan nutrisi konsentratnya adalah bahan kering sebesar 88,70%; energi metabolisme sebesar 2511,41 kkal /kg; protein kasar sebesar 12,76%; dan serat kasar 12,48%.
Namun, nilai pertambahan bobot badan harian tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nugroho (2008) yaitu pada sapi SO dapat mencapai pertambahan bobot badan harian sebesar 1,30 kg/ekor/hari. Nugroho (2008) menggunakan pakan berupa 95% konsentrat dan 5% hijauan (jerami padi amoniasi), kandungan nutrisi konsentratnya adalah bahan kering sebesar 89,65%; energi maintenance sebesar 1,315 Mkal/kg; protein kasar sebesar 12,45%; dan serat kasar 14,35%. Perbedaan nilai pertambahan bobot badan pada sapi Sumba Ongole yang digunakan pada ketiga penelitian tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kualitas pakan yang diberikan pada sapi.
Pertambahan bobot badan harian rata-rata pada ternak sapi lokal menurut Sarwono dan Arianto (2003) adalah sebesar 0,30-0,75 kg/hari untuk sapi jenis PO atau SO; 0,35-0,66 kg/hari untuk sapi Bali, 0,25-0,60 kg/hari untuk sapi Madura. Hal ini berarti pertambahan bobot badan harian sapi dalam penelitian cenderung melebihi rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi lokal pada umumnya. Pertambahan bobot badan harian sapi dalam penelitian yang cukup tinggi tersebut diduga disebabkan oleh adanya fenomena compensatory growth, karena sapi berasal dari peternakan dengan pemberian pakan yang terbatas kemudian digemukkan dengan pemberian pakan berkualitas lebih baik. Patterson et al. (1955) mengemukakan bahwa pada usaha feedlot, efisiensi pakan dari penerapan fenomena compensatory growth dapat dimanfaatkan dengan baik dengan memberikan pakan yang baik pada sapi yang menderita stress karena kekurangan pakan dan nutrisi. Sapi yang mengalami pertumbuhan kompensasi biasanya laju pertumbuhannya sangat tinggi melebihi pertumbuhan normal.
Hasil penelitian Basuki (2000) memberikan gambaran bahwa, sapi kurus yang berumur 2-3 tahun, jantan kastrasi, dan dalam kondisi yang sehat, setelah dimanipulasi dengan pakan yang nilai nutrisinya sama atau diatas kebutuhan, ternyata dapat mengalami pertumbuhan kompensasi, dengan pertambahan berat badan harian (PBBH) diatas normal (melebihi 0,9 kg/hari). Selanjutnya dinyatakan juga bahwa nilai konversi pakan pada sapi yang mengalami pertumbuhan kompensasi, ternyata lebih rendah atau lebih efisien dibanding sapi yang tidak mengalami pertumbuhan kompensasi.
Referensi
http://repository.ipb.ac.id
Drh. Joko Susilo, Penulis adalah Medis Veteriner , Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung, Direktorat Kesehatan Hewan, Dirjennak Keswan, Kementrian Pertanian RI
http://dodymisa.blogspot.com
http://www.infovet.com
Sumber-sumber lain
Referensi
http://repository.ipb.ac.id
Drh. Joko Susilo, Penulis adalah Medis Veteriner , Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung, Direktorat Kesehatan Hewan, Dirjennak Keswan, Kementrian Pertanian RI
http://dodymisa.blogspot.com
http://www.infovet.com
Sumber-sumber lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar